Kekuatan
Itu Ada di Pagi Hari**
“Jika seorang
hamba di pagi dan sore hari, tidak mempunyai keinginan apapun kecuali Allah SWT
semata. Maka Allah akan memikul seluruh kebutuhannya. Allah akan memberikan
semua yang menjadi keinginannya. Mengosongkan hatinya untuk cinta pada-Nya.
Menjadikan lisannya berdzikir kepada-Nya. Menjadikan semua anggota tubuhnya
memenuhi ketaatan pada-Nya” (Ibnul Qayyim)
Pagi yang
menawan. Dingin, tapi menyejukkan. Semburat gradasi jingga membuat pola lukisan
menakjubkan di ujung langit. Menggantikan warna kelam yang menyembunyikan
keceriaan anak kecil. Dua partikel hidrogen merangkul satu partikel utama yang
dihirup manusia. Bersenyawa, menjadi tetes embun yang melentikkan ujung-ujung
daun bunga bakung.
Pagi itu begitu
dingin. Nyaris menggumpalkan berliter-liter minyak kelapa yang disimpan nenek
di dalam cendawan kaca. Tapi, tak sekalipun hawa dingin itu membekukan langkah
orang-orang untuk merubah nasib. Anak belia yang bersegera berangkat ke
sekolah. Lelaki-lelaki yang tak beralas kaki, berjalan menuju sawah dan ladang
memenuhi panggilan jiwa. Para guru, dengan
ilmu yang mereka miliki, siap memahat pikiran dan mengukir masa depan anak
didiknya.
Yang paling
indah adalah kaum hawanya. Mereka ini, adalah perempuan sejati: ibu-ibu rumah
tangga. Sebelum semuanya bangun, sebelum semuanya tersadar, mereka sudah berada
di dapur. Menyalakan tungku kayu yang ringkih. Menjerang air, menanak beras
menjadi nasi. Dan semuanya itu, dijalankan sebagai sebuah amanah yang harus
dilaksanakan dengan ikhlas. Tak ada imbalan apapun yang diharapkan.
Kata mereka,
“Inilah bentuk perjuangan kami, Nak. Sebuah pengabdian kepada-Nya. Kami ini bukanlah
wanita karir, atau perempuan-perempuan kota
yang pandai bersolek. Gincu dan bedak, tidak akan membuat kami cantik. Parfum
bermerk, juga tak akan membuat kami menjadi wangi. Tapi jelaga, Nak. Yang
membuat kami merasa cantik. Tanpa jelaga di wajah dan tangan, kami bukanlah
pengabdi setia. Bukan parfum wangi, tapi asap kayu bakar, yang menjadikan kami
menjadi harum. Seolah-olah harum.”
Haha…celoteh
ibu-ibu itu, menyimpulkan senyum di ujung bibirku. Lalu mereka melanjutkan,
“Suami, anak, cucu, adalah ladang-ladang amal kami. Mereka adalah anugerah
Allah Yang Maha Indah. Dan hanya Allah, Nak. Yang telah membuat kami cantik
dengan berjelaga. Dan hanya Yang Maha Suci-lah, yang membuat kami harum dengan
asap kayu bakar. Maka, tak sekalipun kami akan mendustakan-Nya. Tak sekalipun,
kami ingkar kepada-Nya. Dan dengan demikian itulah, wujud syukur dan
penghambaan kami kepada-Nya. Semua itu, berawal di pagi hari.”
***
Dan sekarang,
aku berada di sebuah kota
postmodern, megapolitan. Di mana setiap jengkal tanahnya adalah harta. Di mana
setiap denyut jantungnya berarti nyawa. Di sinilah, —kata orang— peradaban maju
ditemukan. Segala berita yang baru saja terjadi bisa kau temukan di sini.
Bagiku,
pernyataan mereka tak selamanya benar. Tentang peradaban yang maju, aku
anggukkan kepala. Juga tentang berita up to date, aku mengamininya. Tapi,
semuanya itu seumpama pedang bersisi ganda. Jika tak mahir memainkannya, kita
akan terluka. Dan sayangnya, aku termasuk yang tidak pandai mengayunkan pedang.
Novice, amateur.
“Kekuatan
itu ada di pagi hari.”
Betapa ucapan
ibu-ibu itu –termasuk ibuku–, mengetuk dasar hatiku. Bagaimana tidak?
Kawan,
Pernahkan kita
menghitung, berapa banyak kesempatan di waktu pagi yang kita lewatkan begitu
saja. Aku sendiri, entahlah. Tak bisa aku hitung lagi. Ini tentang menyambut
pagi. Tentang bangun pagi, untuk meraih kekuatan fisik dan batin. Kekuatan yang
kita perlukan agar di waktu siang hinga malam, kita tetap ‘hidup’. Dan
menyikapi shalat subuh, aku bersungguh-sungguh soal ini. Bukan maksud menggurui,
aku juga bukan orang yang senantiasa bangun pagi. Bangun sebelum adzan subuh.
Seringkali,
Kelelahan di
hari kemarin, benar-benar menidurkanku. Lelap, jatuh di bawah ketidaksadaran.
Meski pendengaran sudah menangkap lantunan ajakan shalat, mata ini lebih lekat
dengan buaian setan yang menyesatkan. Menyisakan kemalasan yang membutakan.
Yang ada, aku melanjutkan tidurku. Hingga akhirnya terbangun dengan penyesalan
yang dalam.
Kawan,
Hatiku kemudian
berteriak, betapa aku telah menyia-nyiakan saat-saat terindah di awal hari.
Subuh, adalah sebuah momentum. Tempat perlindungan manusia kepada Allah, dari
bujuk rayu iblis dunia. Peristiwa, di mana sebuah pancaran kekuatan merubah
nasib dimulai hari itu. Kemudian, sepanjang hari tak ada perasaan lagi selain
menyesal. Bersalah karena telah melupakan hak-hak Allah atas makhluk-Nya. Dan
memang benar, ketika pagi itu aku tidak bisa berjamaah subuh dengan orang-orang
shalih, rasanya hati ini sempit. Tidak lapang. Jika senang, maka seolah-olah
hanya semu. Bukan kebahagiaan yang sebenarnya. Lagi-lagi, aku kecewa dengan
diriku sendiri.
“Shalat terberat bagi orang-orang munafik
adalah shalat isya’ dan subuh. Padahal seandainya mereka mengetahui pahala pada
kedua shalat tersebut, tentunya mereka akan mendatanginya walaupun harus
merangkak.” (HR Ahmad)
Aku teringat
dengan tulisan Doktor Imad Ali Abdus Sami’ Husain dalam bukunya --Keajaiban
Sholat Subuh--, “Sungguh, masjid-masjid di seluruh penjuru dunia ini merintih
pedih dan mengeluh kepada Allah karena dijauhi oleh mayoritas kaum muslimin
ketika shalat subuh dilaksanakan. Kalau bukan karena ketetntuan Allah bahwa
benda-benda mati itu tidak bisa bicara, tentu manusia dapat mendengar suara
rintihan dan gemuruh tangis masjid-masijd itu mengadu kepada Rabbnya Yang
Agung.”
Kawan,
“Kekuatan
itu ada di pagi hari.”
Bukan hanya
tentang shalat subuh tepat waktu. Lebih jauh lagi. Dalam konteks lain,
persiapan yang lebih awal mampu menyingkirkan kegagalan dan mendekatkan kita
kepada puncak kejayaan. Semua pasti pernah mengenal pepatah “Gagal
mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan.” Mungkin itu juga yang menjadi
alasan, mengapa Allah menjadikan pagi hari sebagai awal manusia dan makhluk-Nya
untuk berkarya. Bukan siang, atau ketika hari sudah gelap.
Maka, tak ada
alasan lain untuk menunda kewajiban. Manfaatkan momentum sekecil apapun di pagi
hari, untuk mempersiapkan perbekalan. Karena semuanya ini, tidaklah abadi.
***
Masa kecilku,
terukir di dalam cerita di awal tulisan ini. Sebuah kehidupan kecil di
Lempuyang, sebuah desa terpencil di Temanggung. Mengenangnya, menghadirkan
kedamaian tersendiri di tengah hingar bingar bising kepalsuan dunia. Namun di
sisi lain, selalu muncul pertanyaan, “Mungkinkan aku bisa menjadi seperti
mereka? Yang mampu meraih kekuatan di pagi hari. Sehingga bersemangat dalam
berkarya. Tulus dan ikhlas mengabdi. Hanya untuk-Nya. Tuhanku Yang Maha
Penyayang.”
Astaghfirullahal’adziim…
Kawan,
Simpulkanlah
sendiri. Dari sebuah wasiat langsung pelaku bom syahid termuda di Palestina
berikut ini. Namanya Muhammad Fathy Farahat. Umurnya baru beranjak 17 tahun.
Wasiat ini, ditulis Farahat pada hari Jum’at, 1 Maret 2002, satu hari sebelum
ia melakukan serangan yang mengantarkannya pada kematian yang ia dambakan:
shalat subuh berjamaah.
“Saudaraku umat
Islam, ketahuilah, sesungguhnya shalat subuh berjamaah adalah rahim yang
melahirkan para pejuang dan pahlawan. Ia adalah tempat peraduan orang-orang
ikhlash. Melaksanakan shalat subuh berjamaah, adalah ciri-ciri para mujahidin,
indikasi kemenangan dan sifat-sifat orang shaleh. Sungguh amat banyak kebaikan
yang tak ternilai di waktu itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar