Kamis, 12 Januari 2012

Contoh Kecil Dalam Perbaikan Diri (Pola makan)

Bangsa ini begitu besar, bahkan tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan sampai RW dan RTpun terlalu besar untuk diperbaiki. Pada hal tanggung jawab yang sesungguhnya lebih besar adalah memperbaiki keadaan yang terkecil yaitu diri sendiri dan keluarga kecil kita. Itulah inti yang penulis dapat cernah dari khutbah yang sangat berkesan hari ini. Alhamdulillah.


Tentang pentingnya memperbaiki diri sendiri sebelum memperbaiki orang lain, penulis teringat akan kisah yang dibawakan oleh Prof Wim Poli yang kurang lebih sebagai berikut: “Sepasang orang tua diresahkan oleh ulah putranya yang sangat gemar makan. Akibat kegemarannya itulah sehingga dari hari kehari anak itu menjadi sangat gemuk. Orang tuanya khawatir bahwa kegemukan anak itu akan mengganggu kesehatannya, pada hal anak itu adalah putera satu-satunya. Untuk mengatasi kegelisahan orang tua, mereka mendatangi para akhli untuk melakukan konsultasi. Ada akhli yang memberikan obat-obat tertentu untuk menahan selera makan anak itu, dan ada pula yang memberikan makanan tertentu, dan berbagai macam nasihat. Namun tak seorangpun yang berhasil meredam selera kuat makan anak itu. Pada akhirnya, orang tua itu mengunjungi seseorang yang bukan akhli tetapi dikenal sebagai seorang yang bijak.

Setelah orang tua ini menyampaikan masalah yang dihadapinya, maka orang bijak ini menyuruh kedua orang tua dan anak ini untuk kembali ke rumah, dan datang kembali untuk konsultasi dua minggu berikutnya. Pendek cerita, mereka bertigapun kembali ke rumahnya dan datang kembali ke tempat orang bijak itu dua minggu kemudian.

Anak itu dipanggil oleh orang bijak itu memasuki “ruang praktek” tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya. Orang bijak ini kemudian memberi nasihat yang tidak banyak diketahui orang apa isi nasihat itu, kecuali menegaskan kepada anak itu: “Hentikan kebiasanmu yang buruk itu, kendalikan selera makanmu, Nak”

Aneh, sejak saat itu anak ini berubah drastis, tiba-tiba mengubah pola makannya menjadi teratur sehingga berat badannya terkendalikan. Tentu saja orang tua anak ini penasaran, jampi-jampi apa, atau obat apa yang telah diberikan kepada anak ini sehingga berubah kebiasannya itu.

Kedua orang tua ini, tanpa diketahui oleh anaknya pergi kembali kepada orang bijak untuk mencari tahu apa yang telah dilakukan oleh orang bijak ini terhadap anaknya sehingga dapat berubah drastis. Orang bijak ini menjawab bahwa tak ada obat yang diberikan. Lalu, orang tua itu bertanya lagi. Kenapa pada waktu proses pengobatan itu, saya diminta untuk datang lagi dua minggu kemudian.

Lalu, orang bijak itu berkata. Sesungguhnya saya sendiri menderita penyakit seperti yang diderita oleh putra Anda. Untuk menyembuhkan penyakit yang saya derita itu saya butuh pengendalian diri selama dua minggu. Pengendalian diri saya sangat penting untuk dapat memberikan nasihat kepada putra Anda sehingga saya harus sembuh terlebih dahulu. Setelah saya yakin dapat mengendalikan diri, barulah saya yakin pula dapat meyakinkan kepada orang lain untuk mengendalikan dirinya.

Jadi, kalau kita beranggapan bahwa bangsa kita ini mengalami berbagai ketidak beresan sebagai akibat dari tingkah laku yang menyimpang maka jangan bermimpi untuk memperbaikinya sekali gus, melainkan kita harus memperbaiki dengan memulai dari diri sendiri. Agak susah bagi seorang pemimpin untuk memperbaiki yang dipimpinnya jikalau “beliau” sendiri tidak beres. Bayangkan saja jika setiap individu pemimpin sudah dapat mengendalikan dirinya dari perbuatan yang tercela, dan menerapkan hal itu kepada orang yang dipimpinnya termasuk isteri, anak dan keluarga kecil lainnya dan seterusnya kepada orang yang dipimpinnya maka yakinlah bangsa ini akan menjadi jauh lebih baik. Kalau sudah yakin berdasarkan kata hati bahwa diri kita beres, barulah bisa mengubah orang lain.

Masih ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan, Insya Allah semoga dapat disambung pada waktu yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar